اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَلِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالأَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ , وَاَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ .
Apabila Allah berkehendak membukakan
wijhah hatimu untuk menerima ma’rifat, maka tidak peduli lagi walau amalmu
sedikit. Karena bila Allah membuka hatimu semata-mata karena berkehendak
memperkenalkan diri-Nya kepadamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya ma’rifat itu
didatangkan untukmu dan amalmu adalah persembahan untuk-Nya, mana yang lebih
tinggi nilainya bagimu, apa yang datang darimu atau apa yang didatangkan
kepadamu?.
Wijhah merupakan anugerah Allah s.w.t kepada seorang hamba yang letaknya di dalam hati sanubari. Meski didatangkan sebagai buah ibadah, namun datangnya wijjah tersebut semata-mata kehendak azaliah bukan karena ibadah yang dilakukan itu. Dengan wijhah, seorang hamba dapat melaksanakan tawajjuh (menghadap dan wushul) kepada Allah s.w.t. dengan benar. Yang dimaksud tawajjuh sebagaimana yang dinyatakan Allah s.w.t dalam firman-Nya berikut ini:
إِنِّي
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan hadapanku
kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak menoleh kepada yang
selain-Nya (hanifa) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan
Tuhan”. (QS. al-An’am; 6/79)
Dengan wijhah itu pula seorang hamba mendapatkan
kemuliaan dan kedekatan di sisi Tuhannya: “Seorang terkemuka (mempunyai wijhah)
di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada
Allah)”. (QS. Ali Imran; 45) Namun hal tersebut bisa terjadi manakala pintu
wijhah itu sudah dibuka (di dalam hati), atau seorang hamba telah mendapatkan
futuh dari Tuhannya, dengan itu maka dia akan berma’rifat dengan-Nya.
Ma’rifat artinya mengenal dan yang dimaksud
adalah mengenal Allah s.w.t (ma’rifatullah). Orang yang ma’rifatullah adalah
orang yang kenal kepada Allah s.w.t. Kenal kepada nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, kekuasaan dan pengaturan-Nya, akhlak dan perbuatan-Nya. Kenal,
baik secara rasional (teori ilmiah) maupun secara spiritual (perasaan dalam
hati). Namun yang dimaksud ma’rifatullah adalah kenal secara spiritual.
Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba
yang bertakwa kepada Tuhannya. Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba
sanggup berbuat benar (shiddiq) dan tidak salah di hadapan Tuhannya. Yang
demikian itu, karena ia tahu apa yang dikehendaki Allah s.w.t untuk dirinya.
Semakin seorang hamba berma’rifat kepada Allah
s.w.t, maka ia akan menjadi semakin mencintai-Nya karena ia semakin mengetahui
dan semakin merasakan, bahwa Allah s.w.t sudah berbuat kebaikan yang sangat
banyak kepada dirinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS. Al- Qoshosh; 77)
Semakin seorang hamba mencintai Tuhannya, semakin
itu pula ia mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki. Sebab, hanya kepada yang
dicintai, seseorang akan mampu melaksanakan pengabdian yang benar. Demikian
juga, semakin seorang hamba mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki kapada
Tuhannya berarti derajatnya di sisi Allah s.w.t akan menjadi semakin tinggi.
Oleh karena itu, orang yang paling berma’rifat dan paling bertakwa dan paling
mulia di sisi Allah s.w.t adalah Rasulullah s.a.w. Hal itu karena Beliau paling
mencintai dan paling dicintai oleh Allah s.w.t.
Untuk mencapai ma’rifatullah. Secara teori,
seorang hamba akan diperjalankan oleh tarbiyah Allah s.w.t dengan dua cara:
1. Kehendak yang datangnya dari atas ke bawah.
Artinya, semata-mata wijhah yang ada di dalam hati—yang asalnya tertutup—dibuka
oleh Allah s.w.t. Hijab-hijab matahati dihapuskan. Penutup pintu rahasia
dibukakan. Seperti orang menyalakan lampu, maka yang asalnya gelap menjadi
terang, yang asalnya tidak kenal kemudian menjadi kenal. Bagaikan mendung
ketika sirna, matahari kemudian berada di atas kepala. Hal itu karena Allah
s.w.t memang berkehendak mengenalkan diri kepada hamba-Nya, tidak dengan sebab
yang lain, tidak dengan sebab amal ibadah yang sudah dikerjakan. Yakni, seorang
hamba menjadi mengenal kepada-Nya semata-mata karena Allah s.w.t adalah Dzat
Yang Maujud:
قُلِ
اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي
خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
“Katakanlah : “Allah-lah” kemudian biarkanlah
mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. al-An’am; 6/91).
2. Kehendak dari bawah kemudian ke atas. Artinya
terlebih dahulu seorang hamba dikenalkan kepada makhluk-makhluk-Nya baru
kemudian dikenalkan kepada Al-Khalik (penciptanya), Sebagaimana firman Allah
s.w.t:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا
يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا
بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ
فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2; 164)
Pengenalan seorang hamba kepada Sang Pencipta
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar serta
kemanfaatan-kemanfaatan yang dapat dimanfaatkan bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah s.w.t hidupkan
bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.
Perhatian dan penelitian seorang hamba terhadap
semua itu menghasilkan suatu kesimpulan bahwa betapa Allah s.w.t telah banyak berbuat
baik kepada umat manusia dan betapa sangat banyak manusia yang tidak mengetahui
dan tidak menyadarinya dan bahkan kafir kepada-Nya. Pemahaman tersebut kemudian
menjadikan tumbuhnya rasa kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Hasilnya,
mendorong dirinya untuk bertaubat dengan taubatan nasuha dan meningkatkan diri
dalam melaksanakan pengabdian kepada Allah s.w.t.
Ma’rifat yang pertama adalah ma’rifat yang
langsung memancar dari hati dan ruh (spiritual) yang kemudian dipancarkan lagi
di dalam akal dan fikir (rasional ilmiah) yang selanjutnya dapat
teraktualisasikan melalui akhlak dan perbuatan. Itu bisa terjadi karena seorang
hamba memang telah terlebih dahulu dicintai Allah kemudian ia mencintainya.
Ma’rifat yang pertama ini lebih kuat daripada ma’rifat yang kedua karena ia
lebih hakiki adanya dan karena sesungguhnya letak ma’rifat itu adalah di dalam
hati.
Ma’rifat yang kedua adalah ma’rifat hati
(spiritual) juga, akan tetapi masuknya terlebih dahulu melalui akal dan fikir
(rasional). Yakni pengenalan seorang hamba kepada kejadian-kejadian yang ada di
bumi dan di langit menjadikannya mengenal kepada Sang Pencipta. Seperti orang
yang mengenal buah karya tulis, ketika semakin dalam pengenalannya akhirnya ia
ingin mengenal penulisnya.
Walau jalan masuknya ma’rifat yang kedua ini
melalui rasional, akan tetapi ketika masuk ke dalam spiritual (hati), masuknya
ma’rifat itu semata kehendak Allah. Hanya saja kehendak itu telah didahului
oleh kehendak-kehendak yang sebelumnya—sebagai sebab-sebab yang tersusun tertib
untuk mendapatkan akibat yang baik,—yaitu pahala dari amal ibadah yang sudah
dilakukan.
Bukan karena semata-mata amal ibadah yang dapat
menjadikan seorang hamba berma’rifat kepada Allah s.w.t, akan tetapi
sesungguhnya amal ibadah tersebut terlebih dahulu dijadikan sebab-sebab untuk
bisa terpenuhi suatu proses pematangan ilmu pengetahuan secara rasional. Yakni
supaya sampai kepada suatu akibat yang baik, yaitu pendewasaan ilmu dan akhlak
secara spiritual.
Amal ibadah adalah persembahan seorang hamba kepada Tuhannya
sedangkan ma’rifat adalah pemberian Allah kepada hamba-Nya, manakah yang lebih
tinggi nilainya? Oleh karena itu, apabila Allah s.w.t berkehendak membukakan pintu
wijhah hati seorang hamba untuk menerima Nur Ma’rifat, tidak peduli walau
hamba-Nya itu sedang lemah dan sedikit amal ibadahnya.
0 comments:
Post a Comment